Wednesday 24 April 2013

Atmosfer Jupiter Terbukti Memiliki Air











Citra Jupiter dan komet SL9 hasil tangkapan Teleskop Hubble.
KOMPAS.com — Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Astronomy & Astrophysics mengungkap bahwa atmosfer Jupiter juga memiliki air. Air berasal dari komet Shoemaker-Levy 9 (SL9) yang menumbuk Jupiter 20 tahun lalu.

SL9 ditemukan mengorbit Jupiter oleh astronom bernama David Levy dan Carolyn serta Eugene M Shoemaker pada 24 Maret 1993. Komet ini adalah komet pertama yang ditemukan mengorbit planet, bukan Matahari.

Analisis lebih lanjut kemudian menunjukkan bahwa SL9 pernah lewat sangat dekat dengan Jupiter pada Juli 1992. Saat itulah, planet terdampak gaya tidal Jupiter hingga terpecah menjadi 21 bagian.

Komet selanjutnya juga lewat dekat Jupiter lagi pada tahun 1994. Saat itu, komet menumbuk Jupiter di wilayah dengan koordinat 44 derajat Lintang Selatan Jupiter. Tumbukan menimbulkan fenomena layaknya bola api.

Penelitian ilmuwan sejak puluhan tahun lalu menunjukkan adanya uap air di Jupiter. Namun, saat itu ilmuwan belum bisa memastikan apakah memang air berasal dari SL 9 atau dari cincin planet ataupun bulan-bulan milik Jupiter.

Studi terbaru yang dilakukan oleh T Cavalie dan rekannya, seperti diberitakan Science Daily, Selasa (23/4/2013), memastikan bahwa air di atmosfer Jupiter memang berasal dari SL9. Cavalie melakukan observasi dengan Herschel Space Observatory milik European Space Agency (ESA).

Dalam publikasinya, Cavalie menguraikan bahwa air tidak tersebar merata di Jupiter. Lebih banyak air terdapat di bagian selatan Jupiter. Cavalie mengungkapkan, 95 persen air yang terobservasi saat ini di Jupiter berasal dari komet SL9.

Lalu, apakah dengan adanya air di atmosfer itu Jupiter bisa mendukung kehidupan? Jupiter adalah planet yang terlalu jauh dari Matahari. Selain itu, Jupiter juga merupakan planet gas. Jadi, jangan berharap Jupiter bisa mendukung kehidupan dalam persepsi manusia saat ini.

Sumber: Science Daily
Editor: Yunan

http://sains.kompas.com/read/2013/04/24/1411284/Atmosfer.Jupiter.Terbukti.Memiliki.Air

Hotel Terbaru Bebas Rokok di Legian

KOMPAS.com - Legian, Bali, kembali memiliki hotel baru. Jaringan operator hotel Archipelago International yang sebelumnya dikenal sebagai Aston International, membuka hotel NEO Legian-Jelantik, baru-baru ini.

Hotel baru yang didesain bebas dari rokok ini berlokasi di Jalan Patih Jelantik. Letaknya tidak jauh dari Jalan Legian dengan akses mudah berjalan kaki ke pusat daerah Kuta. Legian terkenal dengan kehidupan malam harinya seperti Poppies Lanes dan Ground Zero.

Guna melayani tamu yang didominasi oleh anak muda internasional maupun tamu domestik, hotel NEO baru ini dilengkapi dengan 101 kamar tamu. Setiap kamar berfasilitas seperti mini bar, mesin pembuat kopi, pengering rambut, tempat tidur dengan linen katun dan duvet berkualitas. Untuk tarif kamar, hotel ini menawarkan harga tak terlalu mahal.
 
Archipelago International berencana untuk membuka hotel NEO ketiganya di pertengahan April yang berlokasi di daerah Blok M Jakarta tepatnya di Jalan Melawai. Kemudian disusul 3 pembukaan lagi pada pertengahan tahun ini, salah satunya berlokasi di Jakarta dan dua lainnya di Bali. 

Pada tahun 2014, akan dibuka beberapa hotel NEO di Bali dan Jakarta serta kota lainnya di Indonesia seperti Bandung, Medan, Palangkaraya, Samarinda, dan Solo. Hotel-hotel ini akan memiliki antara 90 sampai 130 kamar serta kafe. Semua Hotel NEO akan bebas dari rokok.

”Kami telah mempersiapkan agar pembukaan hotel ini bertepatan dengan jadwal pembuatan kontrak operator-operator tur yang biasanya dimulai di bulan April," kata Wakil Presiden Penjualan & Pemasaran Archipelago International Norbert Vas. 

Ia menambahkan tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan dari pasar Eropa, Jepang hingga Australia. Sehingga, pihaknya dapat menjanjikan bahwa tamu yang akan menginap di NEO terdiri dari beragam kalangan yang berbeda. (*)

Editor: Kadek

Sumber: http://travel.kompas.com/read/2013/04/14/16085230/Hotel.Terbaru.Bebas.Rokok.di.Legian


Menemukan Kedamaian di Tidore...




SOASIO, KOMPAS.com - Meski usia Kota Tidore sudah menginjak 905 tahun, nama Pulau Tidore di kalangan wisatawan masih kalah "gaung" dibandingkan saudaranya, Pulau Ternate yang sama-sama berada di Provinsi Maluku Utara. Padahal, nama Ternate dan Tidore, dua pulau kecil yang dihubungkan dengan transportasi laut ini sangat terkenal sejak dahulu karena cengkeh dan pala. Tidak aneh bila bangsa Eropa berlomba-lomba berlayar menuju Ternate dan Tidore. Bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Tidore adalah pelaut dari Spanyol yang sampai di sana tahun 1512.

Tidak hanya Spanyol, demi cengkeh dan pala yang sangat mahal bila dijual di Eropa, pelaut Portugis dan Belanda pun turut berebut kekuasaan untuk menguasai Tidore.



Bagaimana kini nasib Tidore? Kalau dilihat dari sejarahnya, usia Kota Tidore yang tahun ini menginjak 905 tahun merupakan "jualan" yang luar biasa dari sisi pariwisata. Namun, usia yang panjang bukan berarti nama Tidore otomatis dikenal di kalangan wisatawan dalam dan luar negeri. Kalau mau dikelola dengan baik, Tidore yang sarat dengan kekayaan budaya dan adat istiadat ini tidak kalah dengan Ternate bahkan destinasi wisata lain di Maluku Utara.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Tidore Kepulauan, Asrul Sani Soleman, mengemukakan Tidore dengan luas wilayah 9.564,7 kilometer persegi memiliki potensi untuk mengembangkan sektor pariwisata. "Ada rencana untuk membangun satu-dua hotel besar oleh investor lokal. Homestay juga sedang kita kembangkan," ujar Asrul di Soasio, Rabu (10/4/2013).

Modal yang dimiliki masyarakat Tidore, lanjut Asrul sudah ada. Dia menyebut ciri masyarakat Tidore yang ramah kepada pendatang, berperilaku hidup sehat. "Coba lihat, rumah-rumah di pinggir jalan tertata rapi. Jalanan bersih, rumah mereka bersih, sirkulasi udara bagus. Nantinya masyarakat akan kita berdayakan untuk mengelola homestay. Sehingga masyarakatlah yang akan merasakan," kata Asrul.

"Kalau ada tamu menginap, masyarakat Tidore tidak menganggapnya sebagai tamu, melainkan saudara sendiri. Tamu akan dilayani seperti keluarga sendiri," tambah Asrul.



Hari Minggu merupakan hari di mana wisatawan dari Pulau Ternate menyeberang ke Tidore. Wisatawan tinggal memilih transportasi laut yang akan digunakan, menggunakan feri atau speedboat yang cuma membutuhkan waktu hanya 5 menit.

Kota Soasio dikenal sebagai tempat yang tenang, aman, dan damai bagi wisatawan. Jalan kaki di kota ini terasa nyaman. Sulit menemukan aksi kejahatan di sini. Masyarakatnya terbilang ramah dan dengan senang hati akan memberitahu bila ada yang menanyakan alamat suatu tempat. Alamnya pun masih asri. Pantai terkesan bersih. Mobil dan motor belum begitu banyak lalu lalang. Jangan kaget bila becak motor (bentor) dan angkot di Soasio selalu menggelegar dengan musik barat atau musik lokal. Boleh dikatakan antar-angkot atau antar-bentor adu keras alunan musik. Penumpang sudah terbiasa dengan kondisi tersebut.

Sejarah Tidore yang panjang bisa disaksikan wisatawan di Kesultanan Tidore. Di lantai bawah Kedaton Tidore, perjalanan Kesultanan Tidore terpampang bagaikan sebuah diorama yang mengasyikkan untuk diikuti dan diresapi.

Bangunan benteng, meskipun masih dalam tahap penyempurnaan, bisa ditemukan di Tidore. Benteng Tahula yang dibangun pelaut Spanyol dan benteng Torre (oleh Portugis) adalah bukti Tidore menjadi ajang perebutan menopoli perdagangan cengkeh dan pala pada masa itu. Meski benteng-benteng tersebut kini sulit melihat bentuk aslinya, di mana batu-batu besar berserakan, Asrul berupaya keras untuk membangun kembali benteng tersebut sesuai bentuk semula.  


Menurut Asrul, wisatawan bisa menyaksikan kemegahan dan ritual adat di Tidore melalui Festival Tidore setiap tanggal 12 April di Kedaton Tidore. Tanggal 12 April diperingati sebagai Hari Jadi Kota Tidore. "Jiwa warga Tidore adalah melayani. Ritual adat pun bisa berjalan dengan baik, seperti penyelenggaraan Festival Tidore," kata Asrul.

Sementara, Wali Kota Tidore Kepulauan, Achmad Mahifa memiliki keinginan yang kuat untuk memajukan pariwisata Tidore. "Kami akan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengembangkan Pulau Maitara dan Pulau Mare. Kami juga punya batik khas Tidore motif lumba-lumba dan cengkeh," kata Mahifa.

Sekda Tidore Kepulauan, Ansar Husen menambahkan, wisata sejarah, budaya dan bahari akan menjadi andalan Tidore. "Kita memiliki tiga pulau kecil. Nantinya di sana akan dikembangkan homestay, sehingga wisatawan betah berlama-lama menikmati keindahan pulau dan pantai di Tidore," katanya.

Asrul menyadari, sebuah obyek wisata tak cukup hanya menyediakan akomodasi semata, hal-hal lain juga perlu dihadirkan untuk menjaring wisatawan tinggal lebih lama di Tidore. "Pasar oleh-oleh akan kami dirikan. Nantinya wisatawan bisa membeli aneka oleh-oleh, mulai dari batik, kerajinan tangan, makanan, dan minuman khas Tidore," kata Asrul.

Apa Sih Manfaat UN Bagi Kualitas Pendidikan?








Pribumi dan Non Pribumi


Bunyi Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945
  1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang-orang Bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara
  2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
  3. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan Undang-Undang

Jadi, menurut Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang asing yang telah menjadi warga negara Indonesia dan telah disahkan oleh Undang-Undang.

Pribumi dan Non Pribumi
Pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non- pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka. Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi. Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik atau keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha atau pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah, “kasta sudra”. Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dan lan-lain) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diubah oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen atau golongan. Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan super power. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi. Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot” oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa. Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun terpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut. Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer. Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur. Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara. Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 adalah:
  1. Setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI.
  2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI.
  3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga Negara asing (WNA) atau sebaliknya.
  4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum Negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
  5. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI.
  6. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI.
  7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.
  8. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  9. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
  10. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
  11. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
  • Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing.
  • Anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan.
  • Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
  • Anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
  • Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
  • Anak warga Negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia.

Apakah di Indonesia Ada Penduduk Asli? Dimana Domisilinya?
Penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.

Kenapa Timbul Isu Istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang istilah pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis.Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara lain:
  1. Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
  2. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  3. Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)

Atas dasar UU diatas dan latar belakang munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa ini.Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Siapa Saja yang Dimaksud Non Pribumi?
Yang termasuk dalam kategori non pribumi merupakan penduduk Indonesia yang keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran yang sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia.

Kenapa Istilah Non Pribumi yang Menonjol Hanya Pada Etnis Tionghoa?
Semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean dalam Susetyo, 1999).Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik, mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakan-gerakan anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis Pribumi (Helmi, 1991).Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu, orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa (Gerungan, 2002).Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono, 1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak dapat dipercaya (Sarwono, 1999).Permasalahan antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan dimana ia sendiri menjadi minoritas. Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama. Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang berasal dari satu suku atau ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku atau ras tersebut akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku atau ras tertentu (outgroup) berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996). Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher & Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang. Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup. Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi (karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).

Langkah Apa yang Dapat Disarankan untuk Menghilangkan Isu pribumi dan Non Pribumi?
Negara ini terdiri dari berbagai suku, agama, ras, maka itu marilah kita berpikir ulang, sebenarnya apa yang salah. Yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana cara mengedukasi orang – orang yang rasialis atau yang suka mendiskriminasikan dapat menerima "perbedaan", sehingga kita yang dari berbagai macam itu dapat bekerjasama dalam membangun negara ini jauh lebih baik. Pada dasarnya negara Indonesia terdiri dari beberapa suku agama dan ras. Setiap bangsa mempunyai keunggulan dan kelemahan, setiap suku juga mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kita semua harus bisa belajar kelebihan kelompok lain untuk mengatasi kekurangan sendiri, berkompetisi dengan adil untuk kemajuan masyarakat dan kemakmuran bersama. Tak pantas untuk dengki, iri-hati melihat kelebihan dan keberhasilan orang lain dan suku lain, lebih- lebih jangan pula sampai timbul minat-jahat untuk membasmi orang itu atau suku itu yang lebih unggul dari dirinya. Suku Jawa mempunyai keunggulan, kelebihan dan kekurangan, juga demikian dengan suku Batak, suku Bugis dan suku Tionghoa di Indonesia. Keunggulan suatu suku bukan pula berarti keunggulan setiap perorangan dari suku itu. Tak sedikit peranakan Tionghoa yang menunjukkan keunggulannya di bidang perdagangan. Marilah kita, seluruh rakyat Indonesia, bersatu tanpa mempersoal-kan suku yang berbeda, agama yang berbeda dan keturunan yang berbeda, untuk membentuk satu pemerintah yang adil dan bersih! Hanya dengan pemerintah yang adil dan bersih, kita bisa membangun dan mencapai satu masyarakat adil dan makmur! 

Sumber: