Bunyi
Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945
- Yang
menjadi warga negara ialah orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang-orang
Bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara
- Penduduk
ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia
- Hal-hal
mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan Undang-Undang
Jadi, menurut Pasal
26 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang asing yang telah menjadi warga negara Indonesia
dan telah disahkan oleh Undang-Undang.
Pribumi
dan Non Pribumi
Pribumi
adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan.
Sedangkan non- pribumi
berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara.
Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan
berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Namun pendapat
yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah
pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku
asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa,
India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering
dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di
Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung
mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan
warna kulit mereka. Selain warna kulit, sebagian besar
masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya
dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai
non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi. Golongan
pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi)
terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini
hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah
dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan
Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik atau keturunan.
Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha
atau pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat
umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai
kelas rendah, “kasta sudra”. Setelah merdeka, para
pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dan lan-lain) berusaha
menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia
menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka
persatuan negara ini menjadi
rentan, mudah diubah oleh kepentingan neo-imperialisme.
Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh
Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk
memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen
atau golongan.
Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan super power. Hal
inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak
(penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi. Setelah
pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui
Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan
non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang
direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah
minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa
setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri
yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan
kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik
di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan
“peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam
Indonesia. Semua
sari kekayaan di”sedot” oleh perusahaan asing
dan segelintir
penghianat bangsa. Inilah mengapa, diera orde baru,
konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai
pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan
namun terpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Sebagai warga
negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita
wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang
sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga
perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan,
pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing
dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan
kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mecerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena istilah
pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah
saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus
menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”.
Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi
kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para
patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka
yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan
menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa,
kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti
keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu
memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili
para penghianat
tersebut. Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk
melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi berdarah,
tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah,
penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak
kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu,
diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta
edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer. Setelah
era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali
kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi
birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik
pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka
disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi
etnis Tionghoa dan
etnis minoritas di era Gusdur. Setelah berlakunya UU
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia
yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang
embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar
belakang etnis. Yang diberlakukan
saat ini adalah warga negara. Ada beberapa kriteria
Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 adalah:
- Setiap
orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI.
- Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI.
- Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga Negara
asing (WNA) atau sebaliknya.
- Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak
memiliki kewarganegaraan atau hukum Negara asal sang ayah tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut.
- Anak
yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari
perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI.
- Anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI.
- Anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang
ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 tahun atau belum kawin.
- Anak
yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
- Anak
yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah
dan ibunya tidak diketahui.Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia
apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya.
- Anak yang dilahirkan di luar
wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari
Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan.
- Anak dari seorang ayah atau ibu
yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai
WNI bagi:
- Anak
WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum
kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing.
- Anak
WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh
WNA berdasarkan penetapan pengadilan.
- Anak
yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
- Anak
WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut
penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga
diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
- Anak
yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan
Indonesia.
- Anak
warga Negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia.
Apakah
di Indonesia Ada Penduduk Asli? Dimana Domisilinya?
Penduduk wilayah Nusantara hanya
terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia
Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang
dalam beberapa gelombang.Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di
wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang
lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan
kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus,
Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba
ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai
penduduk asli Australia.Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai
“penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit
hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum
yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu
binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide
yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari
artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa
ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.Bangsa
Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam
kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian
juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang
tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem
perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama
tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini
dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan
yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat
peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Kenapa
Timbul Isu Istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Setelah berlakunya UU 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir
di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang istilah
pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis.Ada
beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara
lain:
- Seorang
yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu
WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
- Anak
yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
- Orang
asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan
kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)
Atas dasar UU diatas dan latar belakang
munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak
pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa
ini.Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif
pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita
memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman
pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara
Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak
boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan,
dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib
menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi
bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi
dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan,
lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk
ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk
mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Siapa
Saja yang Dimaksud Non Pribumi?
Yang termasuk
dalam kategori non pribumi merupakan penduduk Indonesia yang keturunan
Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran yang
sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi
dilahirkan di Indonesia.
Kenapa Istilah Non Pribumi yang Menonjol Hanya Pada Etnis
Tionghoa?
Semakin lebarnya jurang pemisah
antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang ada di Indonesia, seperti hasil
observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,1999) dikatakan memang terdapat
kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa dengan etnis Indonesia lainnya
cenderung tegang dan saling curiga (Warnean dalam Susetyo, 1999).Sejak jaman
penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara etnis Tionghoa
dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik, mulai dari konflik
terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et impera) yang sengaja dibuat
oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, pemberontakan PKI tahun
1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik lainnya. Politik ”memecah belah
bangsa” merupakan awal munculnya gerakan-gerakan anti-Cina. Hal ini disebabkan
oleh pemberian kedudukan yang istimewa terhadap etnis Tionghoa dalam struktur
kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di bawah Belanda dan di atas Pribumi.
Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana yang subur bagi tumbuh kembangnya
perasaan superior. Situasi ini telah memicu munculnya prasangka pada golongan
etnis Tionghoa terhadap golongan etnis Pribumi (Helmi, 1991).Masa-masa yang
menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian berakhir pada pemberontakan
PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu, orang Tionghoa menjadi sasaran
kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi diskriminatif seperti aksi kekerasan
”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut mendukung pemberontakan tersebut,
akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis
Tionghoa juga menjadi korban kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik
etnis Tionghoa dibakar, dan perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer,
1998). Tragedi ini merupakan representasi paling nyata dari adanya prasangka
terhadap etnis Tionghoa (Gerungan, 2002).Pengalaman traumatis yang dialami baik
oleh golongan Pribumi ataupun golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia
Belanda sampai sekarang menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin
kental (Sarwono, 1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa
adalah orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak,
memiliki nasionalisme yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan
dengan mengira bahwa semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan
Tionghoa juga berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot
dalam Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya
lebih pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan
tidak dapat dipercaya (Sarwono, 1999).Permasalahan antar etnis ini dapat
ditinjau dari social-categorization theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk
(1987) bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan
untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita”
dan ”mereka” atau ”us versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis
yang terjadi di Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis
Tionghoa telah membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik
yang menonjol seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan
karakteristik fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan
dari kecenderungan ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih
baik dibandingkan kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai
secara negatif seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan
konsekuensinya kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan
dirinya sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan terhadap
kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan Hastuti
dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada dalam
lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih positif
terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan dimana ia
sendiri menjadi minoritas. Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007),
perasaan ingroup dan outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust).
Kelompok ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya
sedangkan semua anggota kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa
dipercaya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam
Irmawati (1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan
akan membuat mereka membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang
diprasangkainya atau dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara
yang sama. Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan
yang berasal dari satu suku atau ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah,
maka atas dasar keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku
atau ras tersebut akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata
lain, pengusaha tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku atau
ras tertentu (outgroup) berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati,
1996). Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi
supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga meningkatkan
produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya trust,
kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang akan
terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku yang
ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau menaikkan
derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk
dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut
dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan
bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target
(Fletcher & Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang
mampu untuk memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi sosial
(social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber
penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia
sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup. Pada
dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi (karyawan etnis
Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya prasangka ini sebagai
akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan dimana karyawan
non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi dibanding karyawan
Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi lebih tinggi dari
karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).
Langkah
Apa yang Dapat Disarankan untuk Menghilangkan Isu pribumi dan Non Pribumi?
Negara ini terdiri dari berbagai
suku, agama, ras, maka itu marilah kita berpikir ulang, sebenarnya apa yang
salah. Yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana cara mengedukasi orang –
orang yang rasialis atau yang suka mendiskriminasikan dapat menerima
"perbedaan", sehingga kita yang dari berbagai macam itu dapat
bekerjasama dalam membangun negara ini jauh lebih baik. Pada dasarnya negara
Indonesia terdiri dari beberapa suku agama dan ras. Setiap bangsa mempunyai
keunggulan dan kelemahan, setiap suku juga mempunyai kelebihan dan
kekurangannya sendiri. Kita semua harus bisa belajar kelebihan kelompok
lain untuk mengatasi kekurangan sendiri, berkompetisi dengan adil untuk
kemajuan masyarakat dan kemakmuran bersama. Tak pantas untuk
dengki, iri-hati melihat kelebihan dan keberhasilan orang lain dan suku
lain, lebih- lebih jangan pula sampai timbul minat-jahat untuk membasmi
orang itu atau suku itu yang lebih unggul dari dirinya. Suku Jawa mempunyai
keunggulan, kelebihan dan kekurangan, juga demikian dengan suku Batak,
suku Bugis dan suku Tionghoa di Indonesia. Keunggulan suatu suku bukan
pula berarti keunggulan setiap perorangan dari suku itu. Tak
sedikit peranakan Tionghoa yang menunjukkan keunggulannya di bidang
perdagangan. Marilah
kita, seluruh rakyat Indonesia, bersatu tanpa mempersoal-kan suku yang berbeda,
agama yang berbeda dan keturunan yang berbeda, untuk membentuk satu
pemerintah yang adil dan bersih! Hanya dengan pemerintah yang adil dan
bersih, kita bisa membangun dan mencapai satu masyarakat adil
dan makmur!
Sumber: